Kenangan Satu Abad Hok Kian Hwee Kian

Standard

Budaya-Tionghoa.Net | Salah satu member mailing-list , Jamal Clark Senjaya telah mencurahkan waktu untuk menyalin naskah “Kenangan Satu Abad Perkumpulan Sosial “Dharma Bhakti” atau Hok Kian Hwee Koan , 1902-2002. Kami pihak admin dan moderator berusaha mengkompilasinya kedalam satu artikel agar lebih mudah ditelusuri. Mudah-mudahan salinan arsip tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Hormat kami

Admin

KENANGAN SATU ABAD PERKUMPULAN SOSIAL “DHARMA BHAKTI” (Hok Kian Hwee Kwan) 1902 – 2002
Teluk Betung, Bandar Lampung

PENGANTAR

Perkumpulan Sosial  Dharma Bhakti saat ini telah memasuki usia kurang lebih satu abad atau 100 tahun. Wadah ini dahulunya bernama Hok Kian Hwee Kwan dan dibentuk sekitar tahun 1902. Para tokoh pendiri yang terlibat diantaranya Lim Giok Keng (pemimpin kehormatan Hok Kian Hwee Kwan), joa Tjiam, Lie Kong Kan dan Lim Tjie Moi. Maksud dan tujuan dibentuknya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan adalah untuk menumbuhkan rasa kebersamaan antara sesama pendatang keturunan Hok Kian yang waktu itu sudah menetap dan mencari nafkah di Lampung.

Dalam kurun waktu perjalanan yang cukup panjang Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan di Lampung sudah tentu mengalami pasang surut didalam kiprahnya sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, khususnya di era penjajahan kolonial Belanda, Jepang dan masa-masa dimana Bangsa Indonesia memasuki lama kemerdekaan sejak tahun 1945.

Untuk mendapatkan fakta dan buktu sejarah di dalam mengupas pembentukan awal perkumpulan sosial ini dirasakan banyak sekali kendala-kendala. Disamping langkanya bahan-bahan informasi akurat nara sumber yang dapat dijadikan acuan, sangat sedikit,

Namun dengan adanya sedikit bahan yang bisa digali dari cerita-cerita turun temurun maupun catatan-catatan yang terdapat di dalam berbagai referensi bacaan maupun buku, kupasan mengenai satu abad Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan ini bisa mendekati realitas yang terjadi pada kurun waktu tertentu.

Siapa-siapa tokoh pendiri maupun pelopor awal terbentuknya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan sejauh ini memang sulit dilacak. Hanya saja pada kurun waktu di era tahun 1922 dapat diketahui adanya kepengurusan yang cukup solid dan bisa dipertanggungjawabkan yakni di bawah kepemimpinan Lim Khe Kie.

sosok Lim he Kie kala itu sudah cukup dikenal di lingkungan warga Tionghua keturunan Hok Kian. Apalagi dia telah lama dan menetap tinggal di Lampung sejak tahun 1915. Waktu itu Lim Khe Kie sudah bekerja pada salah seorang pengusaha selama 3 tahun. Kemudian beliau mengembangkan usaha wiraswasta sebagai pengelola warung kopi hingga akhirnya memiliki toko kelontong.

Di bawah kepemimpinana Lim Khe Kie, beberapa tokoh lainnya yang masih ikut mendukung Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan diantaranya Tjoa Tjiam, Lie Kong Kan dan Lim Tjie Moi.

Kepengurusan ini diperkuat lagi dengan hadirnya Lauw Liong Lu, Tjoa Siong Lim, Lim Bau, Tjioe Thiam Leng dan Liauw Giok Tjiang. Tentunya ini bukan mengesampingkan peranan para tokoh-tokoh atau sesepuh lainnya yang pernah memberikan sumbangan materiil, pemikiran dan tenaganya pada waktu itu.

Dari bukti-bukti yang dapat diperoleh dari sebagian nara sumber yang menyebutkan perjalanan Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan baik dimasa kolonial Belanda hingga penjajahan Jepang banyak mengalami serentetan pristiwa yang bisa dijadikan sejarah tersendiri.

Bahkan tidak sampai disitu, di era penjajahan Jepang tidak sedikit para pengurus Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan yang diintimidasi. Seperti yang pernah dialami Lim Khe Kie, Liauw Giok Tjiang, keduanya pernah diintrogasi jepang selama 3-4 bulan karena dicurigai sebagai orang yang anti Jepang. Padahal kenyataanya wadah ini semata-mata dibentuk hanya untuk urusan penanganan kematian saja. Dan bukan wadah politik atau lainnya yang anti Jepang.

Kurun waktu hingga masa kemerdekaan 1945 kegiatan Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan ini sedikit demi sedikit bisa beraktivitas kembali. Kepemimpinan Lim Khe Kie masih bisa mempertahankan keberadaan Hok Kian Hwee Kwan apalagi ia juga masih dibantu oleh Liauw Giok Tjiang, Lim Tjie Moi dan Tjoa Siong Lim.

Selain itu ternyata bertambah lagi beberapa tokoh yang duduk di dalam kepengurusan yang mau perduli terhadap aktifitas sosial kemasyarakatan yang diemban wadah ini. Tersebutlah nama seperti Tang Seng Beng, Ang Tiau Bi, Lie Kwa Tiet, Po Sun Seng. Yang juga sudah bergabung pada saat itu: Tjoa Siong Tauw, Po Ie Tjeng, Ong Tiaw Teng, Lim Lam Lie, Lim The Seng, Oey Tjeng Gau, Oey In Teng, Tjie Tiet Su, Oey Sek Liong, Ong Ka En, Oey Ho Tie, Lauw Liong Lu, Lim Heng Tia dan Tjoa Siong Lim.

Tanpa merubah dan mengurangi dari pada maksud dan tujuan dibentuknya Perkumpulan Sosial ini, yakni sosial kematian dan sebagai wadah untuk menyambung tali persaudaraan dan mengikat rasa kekeluargaan diantara warga Tionghua keturunan Hok Kian, perkumpulan ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hanya saja di era tahun 1965 – 1967, perjalanan organisasi ini mengalami sedikit ganjalan. Kala itu sempat vacum menyusul pecahnya pristiwa G.30.S.PKI.

Secara bertahap Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan diganti menjadi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma. Tdiak lama setelah itu diganti kembali menjadi erkumpulan Sosial Dharma Bhakti. Perubahan-perubahan yang dilakukan para pengurus waktu itu sekaligus memperhatikan dan menunjukkan kepada publik bahwa perkumpulan sosial ini mengedepankan sifat organisasi yang lebih terbuka lagi.

Terbukti penetapan susunan para pengurus dan anggotanya yang sekarang ini sudah melibatkan semua golongan masyarakat dari seluruh lapisan.

Kemudian lambat laun, atas inisiatif beberapa pengurus diantaranya Lim Heng Tia, Oey Tjan Tang, Lim Hok Beng dan Lie Kwa Tiet, gedung milik perkumpulan Sosial Dharma Bhakti mulai direnovasi disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Tentunya ide inipun berkat adanya dukungan dari para dermawan yang pada saat itu sudah perduli untuk mengembangkan misi perkumpulan sosial ini seperti Ngadiman Winata (Oey In Teng). Begitu selesai pelaksanaan renovasi, gedung perkumpulan sosial Dharma Bhakti ini tidak hanya terbatas pada pelayanan sosial kematian saja melainkan juga melayani kegiatan upacara-upacara seperti pernikahan dan lain sebagainya.

Sehingga secara perlahan penghimpunan dana sudah bisa diperoleh dari pemberian sumbangan para pemakai jasa gedung. Apalagi kepengurusannya pun sudah semakin solid begitu dipengang Lim Heng Tia, Oey Tjan Tang, Lim Hok Beng, Liauw Khun Hong, Ong Ka In, Kencana Sukma, Oey Tjeng Gau dan Lim The Seng.

Memasuki usia 100 tahun, dimasa mendatang Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti dihadapkan pada tantangan yang semakin berat. Terutama dalam hal menumbuhkan keperdulian sosial yang lebih luas lagi, tidak hanya sekedar bagi-bagi  sembako atau pemberian sumbangan kepada panti jompo maupun korban bencana alam.

Setidaknya para generasi penerus yang ada sekarang ini telah memiliki suatu tekad untuk menumbuhkan perkumpulan sosial ini bisa memberikan manfaat yang luas kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya warga Lampung dan bangsa Indonesia pada umumnya. Proyeksi kegiatan perkumpulan Sosial Dharma Bhakti nantinya juga akan berkembang ke bentuk pembinaan lain seperti bidang pendidikan lewat perguruan tinggi serta bidang pelayanan kesehatan dalam bentuk pembangunan rumah sakit.

Tantangan yang tidak kalah beratnya adalah menyiapkan generasi-generasi muda di kalangan warga Tionghua dan warga masyarakat lainnya untuk berbaur menjadi satu guna mewujudkan keperduliannya dengan kegiatan sosial melalui perkumpulan sosial ini.

Tim Penyusun

GAMBARAN UMUM

Dalam kurun waktu perjalanan yang cukup panjang, diyakini oleh para sesepuh keturunan Hok Kian menyebutkan bahwa Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti saat ini diperkirakan telah memasuki usia kurang lebih satu abad atau 100 tahun.

Organisasi ini pada awal berdirinya bernama Hok Kian Hwee Kwan yang berkembang di era tahun 1900-an. Tujuan pembentukan perkumpulan sosial ini untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, persaudaraan dan sifat saling tolong menolong antar sesama suku Hok Kian yang menetap di Lampung pada masa itu.

Pembentukannya tidak jauh berbeda dibandingkan perkumpulan-perkumpulan sosial sejenis yang didirikan suku-suku pendatang lainnya yang menetap di suatu tempat baru. Berdasarkan literatur yang ada, wadah ini dibentuk sekitar era tahun 1902 seiring dengan munculnya nasionalisme Cina pada awal abad 20.

Tokoh-tokoh pencetus berdirinya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan ini dipelopori oleh sesepuh orang-orang Hok Kian yang merasa terpanggil untuk mewujudkan terciptanya rasa kebersamaan  dan sifat gotong-royong di lingkungan mereka.

Sejauh ini memang dirasakan sulit untuk mengetahui atau mendapatkan data-data yang akurat menyangkut siapa saja tokoh-tokoh pendiri perkumpulan sosial ini secara tepat. Diakui untuk mendapatkan bahan informasinya sangat terbatas. Namun setidaknya di era tahun 1922-1942 fugur-figur pelaksana yang sudah duduk berperan aktif di dalam pengurusan wadah ini tercatat nama-nama seperti, Lauw Liong Lu, Tjoa Tjiam, Tjoa Siong Lim, Lie Kong Kan, Lim Bau, Lim Yjie Moi, Tjioe Thiam Leng, Liauw Giok Tjiang.

Inipun diyakini masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang kebetulan saja tidak tercatat atau terlewati dari ingatan para sesepuh yang dimintai informasi guna penyusunan buku kenangan Satu Abad  Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan ini.

Berkat kerja keras tokoh-tokoh itulah, perkumpulan sosial ini tetap eksis hingga di era tahun 1922. Hingga kepemimpinanya dipegang oleh Lim Khe Kie mulai tahun 1942. Beliau juga dibantu oleh Lauw Liong Lu, Tjoa Tjiam, Tjoa Siong Lim, Lie Kong Kan, Lim Bau, Lim Tjie Moi, Tjioe Thiam Leng, Liauw Giok Tjiang.

Dan saat ini sebagian besar para pendiri itu telah tiada, seperti Lim Khe Ki meninggal di tahun 1974, tetapi namanya telah terukur dengan tinta emas di hati para generasi penerus yang mengemban misi organisasi ini selanjutnya. Misi utama dibentuknya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan adalah untuk menumbuhkan sikap saling tolong-menolong di dalam menjalani kehidupan, khususnya sesama pendatang warga Tionghua orang-orang Cina perantauan jika diantara mereka ada yang mengalami musibah seperti kematian.

Melalui perkumpulan ini semua keperluan untuk perawatan hingga pemakaman bila ada anggota atau warga keturunan Hok Kian yang terkena musibah kematian bisa langsung dibantu oleh pengurus. Di samping itu juga ada misi lainnya, organisasi ini juga melaksanakan berbagai kegiatan kebiasaan, adat-istiadat serta kebudayaan maupun acara-acara ritual warisan leluhur bangsa Tionghua.

Seperti yang sudah ditumbuhkan waktu itu, misalnya menyelenggarakan ziarah ke makam-makam leluhur yang biasa disebut Csing-Bing atau Ceng-Beng. Ibadah ini mengandung makna Ceng; berarti bersih dan Beng berarti; cerah. Biasanya ini dilakukan setiap tanggal 15 bulan 3 menurut kalender Imlek (Sha Gwee Cap Go). Pada perayaan itu orang-orang Tionghua melakukan ziarah ke makam orang tua dan leluhur, membersihkan makam, berdoa dan sembahyang sesuai dengan kepercayaan sambil meletakkan kertas kuning kecil memanjang di atas makam. Istilah ini sama dengan menabur bunga.

Cerita Ceng-Beng itu sendiri mengisahkan, konon seorang Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming. Ia lahir dengan keluarga yang sangat miskin, agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara.

Pada suatu saat ia menjadi raja, ia tidak mengetahui dimana makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat berziarah dan sembahyang di makam leluhurnya dan memberi tanda kuning diatas makam tersebut.

Sedang makam yang tidak ada tanda kuning, diziarahi oleh raja sebagai makam leluhurnya. Pelaksanaan ziarah dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng-Beng.

Ceng-Beng sendiri masih tetap dilaksanakan warga tionghua di Lampung sejak lama walaupun hidup jauh dari tanah kelahiran. Peringatan Ceng-Beng ini sangat bermakna bagi orang Tionghua sebagai bagian dari melestarikan budaya guna menemukan jati diri, juga mengandung makna hormat kepada orang tua dan tidak melupakan leluhur serta makna-makna hidup lainnya yang bertujuan luhur.

Selain mengemban misi sosial, Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan sekaligus sebagai sarana untuk berkesenian dan ajang interaksi sosial yaitu menyambung tali silaturahmi, mempererat rasa persaudaraan dan ikatan kekeluargaan di antara warga Tionghua keturunan Hok Kian di propinsi Lampung.

Misalkan diwujudkan dengan kegiatan seperti arisan. Tujuan dari arisan ini semata-mata untuk mengikat tali kerjasama dalam hal perdagangan. Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Tionghua bahwa urusan simpan pinjam itu di antara mereka menganut azas kepercayaan. Ini tetap berlaku bagi pendatang-pendatang keturunan Tionghua lainnya yang sudah tinggal lama dan mencari nafkah di Lampung.

Hingga saat ini sebuah kepercayaan bagi warga Tionghua masih dipertahankan dan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi, terutama menyangkut kegiatan perdagangan dan bisnis di kalangan mereka. makna kepercayaan bagi warga etnis Tionghua, bagi yang melanggar bakal menerima sangsi.

Hukumannya bukan berdasarkan ketentuan tertulis, tetapi mereka yang melanggar kehilangan kepercayaan di mata masyarakat dan hukuman ini paling disegani karena mempunyai nilai tersendiri dalam bermasyarakat. Menjaga kepercayaan itu cukup mahal dan dianggap suatu tindakan benar. Kepercayaan dipandang lebih tinggi dari segala-galanya. Begitu pula dalam hal perselisihan dengan keturunan etnis Tionghua lainnya jalan yang ditempuh  adalah menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.

Para pendatang suku Hok Kian waktu itu sudah memiliki motto; mengapa harus takut susah, kerja keras sebagai pemicu bagi suatu kesuksesan. sehinga itu dijadikan sebagai suatu pegangan yakni; ketekunan dan kerja keras. Secara umum kehadiran Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan, mengacu pada nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan dan kepercayaan sebagaimana yang dijabarkan dalam nilai keagamaan/keyakinan yang dianut sebagian besar etnis Tionghua keturunan Hok Kian.

Lewat perkumpulan sosial semacam Hok Kian Hwee Kwan, orang-orang Tionghua, perantau khususnya warga Hok Kian yang sudah bermukim di Lampung di era 1900-an merasa lebih dekat. Melalui wadah itu mereka juga sudah bisa saling bertemu untuk berdiskusi, bercengkrama sambil bernostalgia atau sekedar kongkow-kongkow dengan rekan sejawat.

Kebiasaan yang melekat yang sering dirasakan dalam perkumpulan sosial ini, yakni kumpul-kumpul sambil mendengarkan permainan musik Lam Kuan (kesenian tradisional Tionghua). Kesenian ini di era 1900-an sudah banyak dipertontonkan di kalangan warga Tionghua. Permainan musik ini dimainkan 5-6 orang-orang muda mengiringi dendang lagu-lagu klasik, romantis.

Alunan lagu-lagu maupun intrumentalia yang diperdengarkan melalui musik Lam Kuan, sekaligus sebagai obat penawar rindu bagi mereka-mereka yang ingat akan kampung halaman, kangen dengan orang-orang tua maupun kekasih. Biasanya permainan musik Lam Kuan dibawakan pada saat-saat senggang, atau waktu-waktu santai sambil melepas lelah. Umumnya mereka-mereka yang suka mendengarkan adalah orang-orang tua dan anak-anak mudanya hanya sebagian kecil.

Permainan alat musik Lam Kuan ini terdiri dari alat gesek, petik dan tiup seperti rebab, ukulele, biola, kecapi, fluite. Dimana permainan alat musik ini ada kemiripan dengan alat musik Gambang Kromong di tanah Betawi. Adanya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan di Lampung sekaligus sebagai wahana untuk mewariskan nilai-nilai filosofis, adat-istiadat dan kebudayaan yang telah diajarkan para leluhur. Sehingga dimanapun mereka berada kebiasaan-kebiasaan itu terus diindahkan dari genersi ke generasi.

*** 8047

Menurut beberapa literatur menyebutkan orang-orang dari Negri Cina yang merantau atau Huaqiao adalah sekelompok orang Tionghua yang merupakan satu suku tersendiri di Indonesia. Tetapi sebetulnya kalau menurut bahasa Cina, kata Huaqiao terdiri dari dua kata: Hua dan Qiao. Kata Hua mengacu pada suku Hua, yaitu sebuah suku yang kurang lebih 5.000 tahun lalu hidup di Dataran Cina sebelah Utara (Propinsi Henan). Suku ini sekaligus menjadi cikal bakal suku terbesar yang sekarang berada di Dataran Cina. Kata Hua ini pula yang muncul dalam sebutan Zhonghua atau Tionghoa (dalam bahasa Hok Kian). Kata Qiao secara harafiah tinggal sementara di luar negri, sering juga disebut merantau. Tekanan ada pada kata “sementara”. Maka, kata Huaqiao sebenarnya berarti orang-orang suku Hua yang tinggal sementara di luar negri

Menurut catatan sejarah, banyak orang-orang Tionghua sudah melakukan migrasi keluar dari daratannya sebelum masehi. Bahkan sudah ada yang berani menembus perdagangan hingga ke daratan Eropa, waktu itu terkenal dengan istilah jalan sutera dimana kekaisaran Roma sudah mulai menguasai kawasan tersebut.Lewat dari masa-masa itu masih banyak lagi orang-orang dari bangsa Cina yang mengadakan perjalanan ke India dalam rangka memperdalam agama Budha termasuk ke Asia Tenggara hingga Indonesia untuk memperjuangkan nasib.Dalam manuskrip yang ditulis oleh para petualang dari Negri Cina yang berasal dari tahun 513, 523 dan 616, jauh sebelum terbentuknya komunitas Tionghua di Nusantara, diketahui telah ada hubungan yang cukup berkelanjutan sejak abad V antara bangsa Cina dengan daerah-daerah di Nusantara.
Bila singgah ke negri Cina, saudagar-saudagar dari Nusantara berkesempatan membawa barang-barang keramik, sutera dan benang emas. Begitu sebaliknya, pedangang-pedangang Cina jika pulang dari Nusantara pasti mereka membawa emas, kayu cendana, sarang burung, damar dan sebagainya.Demikian tulis Z.A Mulani dalam salah satu artikelnya yang dimuat dalam buku Pri-Non Pri; mencari format baru pembauran.
Pada periode Diansti Ming (1368-1644) di bawah kaisar Yong Le (1402 – 1424) waktu itu sudah bisa disaksikan tampilnya sejumlah panglima dan petualang muslim seperti Zheng He dan Ma Huan yang pada umumnya berasal dari propinsi berpenduduk muslim, Yunan.
Nampaknya di sekitar abad XIV inilah gelombang pertama orang dalam negri Cina dalam jumlah yang besar berpergian ke Nusantara. Gelombang pertama ini pada umumnya terdiri dari pelaut, beragama Islam, berasal dari Yunan, sebuah propinsi di Selatan Cina.Sebagian dari mereka dalam petualangannya, karena alasan yang tidak pernah jelas, memutuskan tidak ikut kembali ke negri Cina dan memilih untuk menetap di kota-kota pantai Nusantara dan kawin dengan wanita setempat.Mereka, khususnya warga Tionghua muslim menjalani kehidupan berumah tangga dengan wanita pribumi dan sekaligus melakukan pembauran secara penuh dengan pnduduk pribumi.
Langkah inipun dilakukan pula oleh warga Tionghua pendatang lainnya, dimana pada penghujung abad XVII terjadi perpindahan agama, orang-orang Tionghua banyak yang memeluk agama Islam secara besar-besaran.Sehingga akhirnya sebagai Tionghua muslim mereka inipun kehilangan eksklusivisme, seolah-olah lenyap di telan bumi menyatu bersama penduduk asli.
Selanjutnya gelombang kedua migrasi bangsa Cina ke Nusantara terjadi abad XVII. Generasi Sum Kong yang diutarakan sebelumnya, bersama dengan munculnya orang-orang Belanda dan Portugis.Eksodus ini terjadi diduga ketika dinasti Ming diruntuhkan oleh dinasti Qing Mancu (1644 – 1911)Berbeda dengan migrasi gelombang pertama, kali ini kedatangan bangsa Cina didorong oleh karena adanya perang, kekacauan, kelaparan yang melanda negara tersebut pada waktu itu.Kalau pada migrasi pertama lebih bersifat sukarela, kali ini pengungsian terpaksa dilakukan untuk menghindari pergolakan. Maka diboyonglah sanak keluarga, umumnya mereka berasal dari suku Fujian ke Bumi Nusantara.Kalau pada migrasi pertama pendatang bangsa Cina yang muslim melakukan perkawinan sehingga mudah berbaur dengan masyarakat pribumi, tetapi pendatang gelombang kedua ini justru bersama sanak keluarganya.Mereka justru membangun permukiman baru sendiri atau lebih dikenal dengan nama Pecinaan. Sehingga kampung-kampung pecinaan itu banyak berdiri di Batavia, Semarang. Banjarmasin, Palembang hingga Teluk Betung. Pokoknya hampir di setiap bandar dimana terdapat pelabuhan perdagangan disinggahi para pendatang-pendatang baru dari daratan Cina kala itu.
Dalam tulisan Eddy Prabowo Witanto, pengajar pada Program Studi Cina Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang berjudul Historis Permukiman Etnis Cina di Indonesia menyebutkan bahwa permukiman kecil orang-orang dari daratan Cina sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang Eropa, terutama di bandar-bandar perdagangan sepanjang pantai.

MASUKNYA HUAQIAO DI LAMPUNG
Seperti di ketahui sifat utama rata-rata orang-orang Tionghua di perantauan, termasuk di Lampung adalah para pedangang, hanya sebagian kecil diantara mereka tercatat sebagai kuli (pekerja kasar diperkebunan). untuk mengawalinya mereka memulai dari lingkungan terdekat dan mengedepankan dasar kerjasama. Dilanjutkan dengan memupuk sikap saling tolong-menolong diantara anggota keluarga, berusaha hemat dalam pengeluaran, menjalankan pekerjaan dengan teliti dan rapi.Pembawaan yang sangat khas bagi huaqiao ini rupanya sangat menolong kehidupan warga Tionghua, khususnya keturunan Hok Kian di Lampung dan tetap dipertahankan hingga sekarang serta terus berkembang.
Namun bukti sejarah masuknya huaqiao ke tanah Lampung sulit ditelusuri, menurut berita dari negri Cina pada abad ke 17 dikatakan bahwa orang-orang Tionghua sudah mengenal kerajaan Tulang Bawang. Waktu itu menyebutnya sebagai To Lang P’ohwang. Ada juga berdasarkan cerita secara turun menurun menunjukan bhwa di era 1364 – 1643 di daerah Lampung sudah sangat terkenal sebagai tempat mencari hasil hutan.
Di era 1600-an orang-orang Cina perantau, khususnya dari keturunan Hok Kian sudah mengincar daerah ini karena sektor perdagangan agro industri sudah bisa dikembangkan. Tidak sampai disitu di zaman Hindia Belanda (1668) VOC sudah mendirikan Benteng Petrus Albertus di Tulang Bawang. Tempat itu dijadikan sebagai penampungan hasil-hasil pembelian lada di daerah Lampung Bagian Utara. Kemudian pada tahun 1738 VOC kembali menempatkan bentengnya “Val Kenoog” di Bumi Agung.
Pada tahun 1889 perkebunan kopi, karet serta lada banyak di buka di Onder Afdeling Teluk Betung, di Way Rate (1893). Terus berlanjut hingga permulaan abad ke-20 seperti di kawasan Way Halim, Langkapura, Kedaton, NatarMenurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional di Daerah Lampung yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional disebutkan berdasarkan laporan dinas terkait yang tertulis dalam Encylopedie Van Nederlands India pada tahun 1905 warga Cina perantau yang sudah bermukim di Lampung tercatat sekitar 486 jiwa.Jumlah imigran dari Tionghua itu relatif lebih besar dari kedatangan orang-orang Arab yang hanya 108 jiwa atau bangsa Eropa yang hanya berjumlah 146 jiwa. Mereka sudah tinggal hidup di Lampung pada masa itu.
Di zaman tersebut hasil bumi Lampung sudah cukup terkenal, seperti lada hitam (black papper) yang sangat digemari oleh masyarakat Eropa. Begitu pula komoditi agro bisnis lainnya seperti kopi, cengkeh maupun hasil perkebunan berupa karet dan coklat sudah banyak dikembangkan di daerah dataran ini. Ada catatan khusus, menunjukan bahwa di era 1900 – 1928 sebagian besar roda perekonomian Lampung sudah banyak dikuasai oleh para Huaqiao.
Apalagi umumnya para Huaqiao itu lebih memilih bermukim di daerah-daerah kawasan pinggir pantai dan sentra-sentra perkebunan. Kala itu di daerah lampung cukup strategis ditambah dengan banyaknya bermunculan dermaga-dermaga pedukung jalur perdagangan komoditi agro bisnis. Bukti sejarah memperlihatkan pada tahun 1902 jalur perhubungan laut sudah terlihat ramai oleh kesibukan perdagangan komoditi. Itu dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Betung maupun Pelabuhan Menggala.
Khusus, Pelabuhan Teluk Betung dinilai sangat strategis kerena dermaga tersebut merupakan satu-satunya pintu keluar masuk maupun ke/dari Batavia kala itu. Dalam perkembangannya di era yang sama semakin bertambah lagi sarana pelabuhan dengan adanya dermaga-dermaga kecil yang dibangun di Kota Agung, Krui dan Labuhan Maringgai. Dinamika perdagangan komoditi semakin marak begitu dibukanya Pelabuhan Panjang di sekitar tahun 1935.

Huaqiao di Lampung kala itu sudah terkenal dengan aktivitasnya sebagai pengusaha perdagangan hasil bumi. Bahkan VOC (Persekutuan Dagang Hindia Belanda) sudah lama mengincar Lampung sebagai pundi-pundi uang bagi pemerintah Hindia Belanda waktu itu.Rupanya Belanda Tertinggal dalam gerakan yang dilakukan para huaqiao. Dan orang-orang Tionghua perantau, khususnya dari suku Hok Kian terbilang hampur menguasai sebagian besar pasar dalam perdagangan hasil bumi, baik untuk kebutuhan lokal maupun dipasarkan ke luar negri. Perlu dicatat kehadiran orang-orang Tionghua yang masuk ke Indonesia maupun tinggal di seluruh penjuru dunia itu, baik di negara-negara maju, negara berkembang, bahkan negara terbelakang, sekalipun adalah orang-orang Tionghua yang awalnya sudah memulai untuk melakukan profesi sebagai pedagang.
Tidak terkecuali yang khusus tinggal di kota-kota besar, bahkan sampai di desa-desa terpencil, di situ akan dijumpai aktivitas perdagangan orang-orang dari bangsa Cina. Kelebihan itu dimiliki para Huaqiao, yang rata-rata pedangan itu, kemudian dimanfaatkan sekaligus dijadikan alat oleh Belanda di hampir setiap propinsi di Indonesia. Taktik Belanda, waktu itu untuk melaksanakan pengembangan kegiatan bisnis dagang mereka dama mengimbangi persaingan dagang dengan bangsa Romawi dan Portugis.

***

SAMBUTAN

Catatan Penyalin : Bagian ini hanya berisi berbagai kata sambutan saja, kurang berisi info penting mengenai perkumpulan ini. Bagi yang kurang berminat bisa melewatinya.

Sambutan Ketua Penasehat Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti

Memasuki usia yang ke 100 tahun berdirinya perkumpulan Sosial Dharma Bhakti merupakan suatu rahmat tersendiri dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah dilimpahkan-Nya bagi kita semua.

Pada kesempatan ini marilah kita bersama-sama menyampaikan doa rasa syukur dan menundukan kepala guna menghormati para sesepuh/leluhur khususnya pendiri Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti yang telah memberikan sumbangsih dan pengorbanannya.

Adanya peringatan satu abad berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti yang bersama-sama kita rayakan tahun ini, selaku pengurus / penasehat ada perasaan haru dan bangga terhadap keberadaan wadah ini.

Karena dalam kurun waktu  perjalanan yang cukup panjang 1902 – 2002 ternyata masih bisa menunjukan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat dengan segala pola kehidupannya yang sudah semakin kompleks.

Semua ini bisa dicapai berkat kerja keras, peran serta, keperdulian kita semua, khususnya para leluhur, generasi penerus warga Tionghua keturunan Hok Kian dan dukungan masyarakat luar termasuk juga pemerintah daerah propinsi Lampung.

Namun hendaknya puncak peringatan satu abad berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti jangan menjadikan kita semua khususnya warga keturunan Hok Kian, lupa diri dan merasa yang paling hebat.

Kami selaku pengurus/penasehat melihat, pengembangan dan perjalanan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti masih sangatlah panjang. Jika dikaitkan dengan nama dan misi yang diemban perkumpulan sosial ini maka untuk masa-masa yang akan datang akan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan yang lebih berat lagi.

Tidak ada salahnya, jika momentum satu abad berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti ini sekaligus dijadikan sebagai wahana bagi kita semua untuk melakukan perenungan/introspeksi diri sekaligus evaluasi terhadap seluruh kegiatan-kegiatan yang selama ini telah dijalankan.

Apakah sudah mencapai sasaran sebagaimana diamantkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah digariskan. Apakah pelayanan sosial yang diberikan sudah bisa menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat..?

Evaluasi ini sangat penting, terutama kepada seluruh jajaran pengurus dan anggota Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti yang sekarang ini mendapat mandat, kami mengingatkan kembali dimasa datang supaya pengurus betul-betul lebih tanggap, perduli bagi peningkatan kinerja organisasi.

Perlu dikembangkan bentuk-bentuk kegiatan sosial yang tidak lagi hanya untuk kepentingan sebatas kesukuan, keturunan Hok Kian saja. Tetapi mengarahkan bagaimana kegiatan-kegiatan sosial itu diciptakan dan pada akhirnaya bisa dirasakan dan lebih berguna bagi kemashalatan masyarakat secara luas.

Semuanya ini sangat diperlukan mengingat bentuk-bentuk kegiatan sosial yang selama ini dijalankan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti masih belum menunjukan kiprah secara sesungguhnya.

Seperti kita ketahui keberadaan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti yang sangat terasa masih sebatas pelayanan sosial dalam aspek  tolong-menolong terhadap musibah kematian dan pelayanan jasa bagi pesta pernikahan.

Kalaupun ada kegiatan sosial yang sudah bisa diwujudkan seperti dalam bentuk pemberian santunan atau bantuan, itupun belum seberapa dibandingkan dengan cita-cita awal yang mendasari berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti.

Kedepan keberadaan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti sudah bisa lebih menyentuh kepada bentuk sosial yang lebih nyata, terutama bagi panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu termasuk santunan sosial terhadap musibah-musibah bencana alam.

Upaya ini tidak lain merupakan sumbangsih dan rasa tanggung jawab kita semua selaku pengurus perkumpulan sosial yang tujuannya membantu meringankan beban pemerintahan di dalam mewujudkan program sosial kemasyarakantan, khususnya propinsi Lampung. Apalagi dewasa ini situasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa kita masih sedang mengalami banyak cobaan.

Lebih tepatnya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti, bersama-sama organisasi sosial lainnya yang sejenis sekaligus harus bisa menjadi mitra pemerintah. khususnya di daerah untu ikut memikirkan nasib bangsa ini di masa-masa yang akan datang. Itulah harapan kita

Terima Kasih

Widarto

Sambutan Ketua Umum Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti

Puji syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita semua bisa merayakan puncak peringatan satu abad Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti dalam suasana sederhana, akrab dan diliputi rasa persaudaraan sesama warga masyarakat di daerah yang kita cintai bersama

Pada kesempatan yang berbahagia ini kami mengajak segenap warga masyarakat keturunan Ho Kian untuk memanjatkan doa kepata Tuhan Yang Maha Esa semoga sesepuh , pendiri maupun pengurus Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti yang telah meninggal dunia mendapatkan tempat yang layak disisinya.

Penghormatan yang tidak terhingga juga disampaikan kepada segenap seluruh lapisan masyarakat, para donatur/simpatisan serta Pemerintah Daerah Propinsi Lampung yang telah mendukung kelangsungan hidup Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti dari sejak berdiri hingga sampai saat ini.

Di dalam kebersamaan yang berhasil kita bina selama ini, khususnya di Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti, sejak kurun waktu 1902 – 2002 merupakan suatu anugrah yang tiada bernilai.

Ini adalah suatu tonggak perjalanan sejarah yang memiliki arti dan makna yang sangat mendalam bagi warga Tionghua keturunan Hok Kian di dalam merefleksikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di propinsi Lampung.

Memasuki usia 100 tahun Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti bukan berarti merupakan akhir dari sebuah perjalanan hidup organisasi ini. Kami mengakui selama kiprahnya wadah ini masih belum banyak berbuat bagi kemashalatan hidup masyarakat dan memiliki kekurangan-kekurangan disana sini.

Bagi kami para pengurus/generasi penerus Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti saat ini merupakan waktu untuk melakukan introspeksi diri kembali.

Bagamana supaya keberadaan dan peranan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti bisa memberikan manfaat yang lebih berguna lagi terhadap kehidupan masyarakat di Lampung dan di tanah air pada umumnya pada masa-masa yang akan datang.

Tantangan yang juga dirasakan berat, bagaimana keberadaan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti bisa semakin eksis di dalam menyikapi berbagai perubahan zaman yang dirasakan semakin kompleks dengan aneka permasalahan sosial kemasyarakatan yang bakal terjadi.

Disini perlunya peranan generasi muda Hok Kian, sudah saatnya orang-orang muda mulai menyiapkan diri menyingsingkan  lengan baju untuk meneruskan cita-cita luhur yang telah dirintis dan diwariskan para pendiri/ sesepuh Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti di kemudian hari.

Termasuk pula peranan para sesepuh /pengurus terdahulu juga semakin dibutuhkan kesungguhannya, tidak berhenti sampai disini terutama dalam menyiapkan kaderisasi kepengurusan di lingkungan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti.

Paling tidak sikap keterbukaan diantara generasi terdahulu dengan generasi kini perlu dikedepankan kembali. Sehingga Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti nantinya bisa menambah warna dan khasanah di dalam setiap pelaksanaan program kerja dan misi-misi sosial yang akan dijalankannya.

Terutama didalam mencapai suatu cita-cita tinggi yang akan dijalankan para generasi penerus Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti jelas tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dan perhatian yang mendalam dari masyarakat dan pemerintah daerah khususnya.

Sekiranya peluang pengembangan langkah Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti selanjutnya bisa lebih disinergikan secara positif dengan rencana maupun program  pembangunan pemerintah daerah khususnya di bidang sosial kemasyarakatan di Propinsi Lampung.

Kami mewakili segenap pengurus Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada seluruh masyarakat dan pihak-pihak terkait yang telah mendukung atas terselenggaranya acara puncak peringatan satu abad berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti bisa berjalan aman dan tertib.

terima kasih

Soetopo

Sambutan Ketua Panitia Pelaksana

Peringatan perayaan satu abad berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti (Hok Kian Hwee Kwan) mempunya arti dan makna yang cukup mendalam bagi warga Tionghua di Propinsi Lampung. Dalam aspek sosial menunjukan bahwa pola hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan sikap saling tolong-menolong di lingkungan masyarakat Tionghua, khususnya keturunan Hok Kian sudah terbina sejak lama.

Perjalanan awal berdirinya Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan memperlihatkan sepak terjang masyarakat Tionghua. Benar-benar memiliki rasa solidaritas yang tinggi antar sesama warga berlainan suku dan adat istiadat.

Dimana sifat kegotong-royongan dan rasa kebersamaan benar-benar melekat di pundak para pendirir Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti maupun pengurus sebagai generasi penerus yang tidak mengenal kata putus asa di dalam mempertahankan misi dan visi perkumpulan ini untuk berbagai kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di Propinsi Lampung untuk masa kini dan mendatang.

Yang paling dibanggakan. Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti pada akhirnya bisa menempatkan diri sebagai bagian tak terpisahkan dengan gerak kehidupan sosial masyarakat Lampung pada umumnya. Dimana pengembangan berbagai aktivitas organisasi lebih diarahkan ke dalam bentuk pemberian/pelayanan bantuan-bantuan sosial yang lebih luas lagi, kepada seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan pertolongan.

Puncak perayaan 100 tahun Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti sekaligus dijadikan sebagai momentum penting, Kita semua telah diingatkan kembali perlunya untuk tetap menjaga silaturahmi yang berkesinambungan guna tercapainya rasa persatuan dan kesatuan sesama warga negara Indonesia di atas keanekaragaman adat istiadat dan kebudayaan.

Untuk mengenang kembali suasana keakraban dan persaudaraan yang telah terjalin di dalam Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti di dalam suasana yang berbahagia ini, dalam suasana kesederhanaan dan keterbatasan yang ada pada diri kami, serangkaian mata acara baik atraksi maupun hiburan rakyat akan dipersembahkan khusus kepada warga masyarakat Lampung.

Ini tidak lain semata-mata untuk lebih menunjukan keakraban sekaligus ajang guna mempererat jalinan tali silaturahmi sesama seluruh warga masyarakat Lampung. Apalagi saat ini bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek tanggal 12 Februari 2002 dan puncak perayaan Cap Go Meh tanggal 27 Februari 2002. Tentunya dengan harapan dan doa, kehidupan kita semua akan menjadi lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang.

Tidaklah berlebihan, jika pencapaian usia satu abad Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti kita peringati sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya wadah ini masih bisa bertahan hingga sekarang dan di masa datang.

Puncak peringatan satu abad Perkumpulan Sosial ini sekaligus sebagai wujud rasa hormat yang tinggi kepada para leluhur yang telah mewariskan nilai-nilai sosial yang patut kita teladani bersama

Terima Kasih.

(O.C) Tanto Nugroho

Sambutan ketua panitia pengarah

Peringatan  100 tahun berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti (Hok kian Hwee Kwan) di Propinsi Lampung telah menjadi catatan sejarah yang sangat berharga bagi kehidupan warga Tionghua, terutama bagi generasi muda keturunan Hok Kian.

Di usianya yang 100 tahun, kehadiran Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti telash membuktikan bahwa keanekaragaman suku dan budaya diantara warga masyarakat di Indonesia, khususnya di Propinsi Lampung bukan menjadi penghalang dalam menumbuhkan sikap saling tolong-menolong, sikap saling menghormati serta jalinan keakraban yang terjalin baik selama ini.

Kita patut bersyukur kepada para pendahulu/pendiri Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti yang telah memberikan contoh suri tauladan yang patut ditiru pada generasi penerus terutama dalam melanjutkan tongkat estafet guna mewujudkan cita-cita luhur mereka di masa mendatang. Paling tidak nilai luhur dan jiwa sosial yang selama ini telah dipupuk serta dibina para pendiri/pencetus perkumpulan dapat dijaga dan diestarikan.

Terutama dalam menyikapi dan mengimbangi berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagai generasi penerus pengemban misi Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti patut bersyukur karena pendahulu-pendahulu kita juga telah mengantarkan wadah ini ke dalam kancah pergaulan yang lebih berwawasan dan bermasyarakat.

Sebagai wujud penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada para pencetus dan pendiri Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti, kami mencoba merekam perjalanan sejarah mereka kedalam suatu buku kenangan satu abad (1902 – 2002) Berdirinya Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti (Hok Kian Hwee Kwan).

Penerbitan buku ini bukan semata-mata ingin nenonjolkan diri melainkan sebagai cermin bagi generasi muda/penerus Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti dan masyarakat luas bahwa berdirinya ok Kian Hwee Kwan bertujuan untuk mengedepankan sikap saling tolong-menolong diantara sesama warga masyarakat di Propinsi Lampung. Pada kesempatan yang berbahagia ini tidak lupa kami sampaikan ungkapan terima kasih kepada para tokoh/sesepuh seperti Oey Ho Tie, Liem Heng Tia, Tan Seng Beng dan nara sumber lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Untuk melengkapi buku ini kami juga mengambil dari berbagai referensi bahan bacaan yang dianggap perlu guna melengkapi tulisan. Dengan segala kerendahan hati kami juga menyampaikan permohonan maaf jika penerbitan buku ini masih dirasakan masih banyak kekurangan data sejarah maupun ada kesalahan penyebutan nama, tokoh, tempat, maupun kekeliruan di dalam mengutip informasi yang kami peroleh. Mudah-mudahan masih bisa memberikan manfaat yang besar.

Terima Kasih.

(S.C) Kencana Sukma.

*** 8099

IMLEK

Hari raya imlek (Yinli Xinnian) jatuh pada tanggal 1 bulan 1 tahun Imlek (Cia Gwee Che It), bertepatan dengan penggantian tahun imlek yang berdasarkan perhitungan lunar (peredaran bulan), yang dikombinasikan dengan perhitungan berdasarkan peredaran matahari dan pergantian musim dari musim dingin ke musim semi. Penanggalan imlek ini banyak digunakan petani dan nelayan yang pekerjaannya sangat tergantung dan berhubungan dengan alam dan musim, maka kalender ini juga disebut nungli (nongli) yang artinya kalender untuk petani. Bila kita perhatikan biasanya menjelang Hari Raya Imlek banyak turun hujan, banyak buah-buahan seperti duku, rambutan, mangga, manggis, durian dan lain-lain juga panen ikan bandeng, udang dan hasil laut lainnya.

Tahun Baru Imlek diartikan memasuki musim semi di belahan bumi bagian Utara, maka disebut sebagai pesta musim semi yang dingin, gelap dengan pohon-pohon yang gundul, memasuki musim yang hangat, terang dengan pohon-pohon yang bersemi. Di Indonesia berarti memasuki musim tanam menyongsong musim hujan yang merata.

Hari Raya Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghua tanpa membedakan agama dan kepercayaan, karena mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang lalu, dan permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang, maka Imlek bisa disebut sebagai hari pengucapan syukur yaitu “Thanks giving Day”. Bagi umat Kong Hu Cu dan Budha biasanya ibadat di Vihara/kelenteng (Miao) untuk bersembahyang dan menyerahkan derma berupa uang atau beras kepada pengurus rumah ibadah dan fakir miskin.

Ibadah bisa juga dilaksanakan tepat pada hari raya Imlek. Kebaktian dengan tema Imlek juga diadakan di Gereja, Mesjid atau rumah ibadat lainnya yang umatnya sebagian besar terdiri dari etnis Tionghua.

Menyambut hari raya imlek biasanya tiap keluarga membersihkan rumah terutama pada bagian dapur, karena dapur merupakan bagian dari rumah yang berjasa dan memberi kehidupan rumah tangga. Orang tua menyiapkan pakaian baru untuk anak-anaknya dan juga pembantu, sopir dan pekerja lainnya di rumah.

Menyiapkan makanan, kue, kolang kaling, agar-agar, manisan, lauk-pauk, daging, ikan bandeng dan buah-buahan, termasuk kue cina atau kue keranjang. Kue ini biasanya dikirim juga kepada orang tua, mertua, paman atau orang yang dituakan sebagai rasa hormat. Tiga hari sebelum hari raya imlek, di daerah permukiman Tionghua biasanya diadakan pasar malam, dimana diperjual belikan keperluan hari raya, baik untuk sembahyang maupun makan. Rumah tangga tidak menyapu di dalam rumah, maknanya agar rejeki tidak terbuang, juga mempunyai makna walaupun hanya sapu tetap perlu istirahat satu haru dalam setahun. Apabila terpaksa harus menyapu, maka sampahnya tidak dibuang sampai hari kedua imlek.

Tepat hari raya Imlek semua berpakaian baru dan rapi, anak-anak memberi hormat dengan cara Tionghua (bai atau pei) pada orang tua, kakek, nenek, kemudian pada kakaknya dengan ucapan selamat panjang umur, murah rejeki dan lain-lain. Pembantu dan pekerja rumah juga mengucapkan selamat pada majikannya, orang tua memberi angpao (hong bao) pada anak-anak dan pada pekerja rumah, pada anak-anak didoakan dan diberi nasehat agar rajin belajar, pandai, enteng jodoh, dll.

Selanjutnya makanan pun dihidangkan, setelah selesai makan maka keluarga menuju kerumah orang tua atau orang yang dituakan untuk menyampaikan ucapan selamat. Makanan, kue-kue kecil, agar-agar, manisan dan lain-lain disiapkan dimeja untuk menjamu tamu yang datang berkunjung.

Makanan-makanan yang lain dihidangkan masing-masing mempunyai makna antara lain: buah atep (kolang-kaling) agar kehidupan mantap, manisan cerme agar tokonya rame, agar-agar berbentuk bintang agar rejeki dan karirnya terang sepert bintang kue keranjang berarti tidak kekurangan sesuatu dan apabila tamu tersebut membawa anak, maka anak tersebut diberi ang pao (hong bau) juga.

Ang pao adalah amplop berwarna merah di dalamnya berisi uang biasanya uang yang masih baru dan terdiri dari dua lembar. Uang tersebut digunakan sebagai modal kerja, untuk keperluan sekolah, membeli sesuatu yang dicita-citakan dan sebagainya.

Pada hari raya Imlek apabila keadaan memungkinkan bisa memasang mercon menunjukan kegembiraan karena rejekinya meledak, bagi keluarga yang mampu dapat dirayakan dengan mengundang barongsai (wushi atau xingsih) untuk disajikan sanak saudara dan kerabat yang datang berkunjung ke rumah. Mengundang barongsay mempunyai makna mengundang rejeki, menolak bala.

Tari liong (wulong) atau barongsay pada mulanya adalah prosesi pengusiran bala, saat ini sudah bergeser sebagai pertunjukan kesenia yang tinggi mutunya yang patut ditonton bahkan telah dipertandingkan di tingkat internasional.

Pada tanggal 8 malam, bagi umat Kong Hu Cu dan penganut kepercayaan tradisional menyelenggarakan sembahyang Tuhan Allah.

Perayaan dan tradisi kunjung berkunjung berlangsung sampai dengan tanggal 15 pada malam 15 diadakan pesta Cap Go Me (yuan xiao jie). Pada perayaan Cap Go Me rumah-rumah memasang lampion warna-warni, diselenggarakan juga karnaval dan hiburan panggung, kaum muda-mudi keluar rumah membeli makanan, melihat lampion dan lain-lain. Makanan yang khas pada hari ini adalah lontong Cap Go Meh.

Setiap pesta Cap Go Meh selesai maka acara kunjung mengunjungi selesai, masyarakat kembali lagi mengerjakan pekerjaannya untuk satu tahun lamanya, khusus bagi petani saat ini adalah momentum yang tepat untuk bertanam, menabur bibit ikan bandeng dan lain-lain. Kaum pedagang mulai giat dengan usahanya karena tahun sudah berganti, rejekipun berubah dan meningkat.***

TANG CIE (DONG ZHI)

Tang Cie biasanya jatuh pada tanggal 22 Desember. Kecuali pada tahun kabisat justru jatuh pada tanggal 21 Desember. Tang Cie berarti musim dingin tiba (Merupakan hari yang paling dingin). Tang Cie mempunyai makna yang khusus bagi masyarakat Tionghua. Seperti cerita turun temurun dikatakan hikayat Tang Cie konon adalah seseorang pemuda sebagai tabib yang berbakat. Pada saat itu ia mencari ramuan obat di hutan, karena suatu kesalahan yang tidak disengaja, racun tanaman menyebabkan kedua matanya buta. Seseorang menemukannya terlantar di hutan, lalu mengantarkannya kembali kerumah. Ibunya yang sudah tua sangat mengasihi anaknya. Pada saat anaknya tidur ia rela mencongkel kedua matanya untuk menggantikan mata anaknya yang telah buta. Setelah anaknya bangun dari tidurnya dan bisa melihat. Ia mengetahui bahwa matanya adalah pemberian ibunya. Ia ingin mengembalikan matanya kepada ibunya, tetapi ibunya menolak. Ibunya memberikan petunjuk supaya anaknya itu cukup membuat onde dari ketan dan dimasukan ke kelopak matanya, dengan suatu keajaiban karena mata yang dibuat dari ketan tersebut ibunya dapat melihat kembali.

Makna dari onde adalah menunjukan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, bahkan rela memberikan matanya yang paling berharga pada anaknya. Itu dicanangkan sebagai Mother’s Day yakni jatuh pada tanggal 22 Desember atau Hari Ibu. Mungkin asal usul dari Hikayat ini. Selanjutnya dari hikayat ini bagi kalangan warga Tionghua dibuat suatu kebiasaan / adat-istiadat membuat kue onde-onde. Pada malam hari sebelum hari Tang Cie, ibu-ibu membuat onde-onde yang terbuat dari tepung beras ketan dan diberi warna merah, putih, hijau, dan berbetuk bulat. Pada esok hari pagi-pagi sekali onde-onde tersebut direbus dimasukan kedalam air gula dan jahe. Setelah masak pertama-tama diberikan kepada ibu sebanyak dua buah.

Selanjutnya dibagikan kepada sanak keluarga dengan jumlah yang sesuai usianya masing-masing menurut perhitungan Tionghua ditambah satu. Setelah dimakan bisa menambah sesuai dengan yang diinginkan. Onde-onde tersebut juga dikirim pada keluarga terdekat atau yang lebih tua. Bagi keluarga yang sedang berkabung tidak membuat onde-onde. Apabila ada anggota keluarga yang sedang hamil ia dapat melempar butir onde-onde yang belum direbus ke dalam api. Bila onde-onde itu tetap utuh, anak yang dikandung mungkin laki-laki, bila onde-onde itu pecah dimungkinkan anak yang dikandung adalah seorang perempuan. Karena hari Tang Cie adalah hari paling dingin di musim dingin, setelah hari Tang Cie cuaca berangsur-angsur hangat maka mempunyai makna untuk mempersiapkan segala sesuatu menyongsong musim semi.

Di Indonesia bisa diartikan persiapan untuk tutup tahun dengan sebaik-baiknya.

*** 8246

Hok Kian Hwee Kwan Lebih Membuka Diri

Menyusul adanya perubahan sikap pemerintah Indonesia terhadap orang-orang Tionghua di tanah air, selama masa lima tahun pertama pemerintahan orde baru mulai memberikan perhatian yang lebih memperbaiki kehidupan masyarakat etnis Tionghua.

Presiden Suharto dalam pidato pertanggungjawaban Presiden di depan Sidang Umum MPR-RI12 Maret 1973 mengatakan : “Saya juga ingin meminta perhatian atas masih adanya usaha-usaha untuk memperuncing perbedaan antara sesama warga negara yag berbeda keturunan, ialah antara golongan pribumi dan golongan non-pribumi.” Pemerintah selalu berusaha untuk, di satu pihak memberikan penerangan dan pengertian kepada masyarakat bahwa golongan non-pribumi sebagai warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, berhak atas perlindungan, berhak untuk mengadakan usaha, seperti warga negara yang lain dari golongan pribumi.

Tidak ada diskriminasi di antara warganegera, meskipun berbeda asal dan keturunannya. Di pihak lain pemerintah juga berusaha dengan segala jalan agar golongan non-pribumi yang umumnya memiliki kelebihan kekayaan dan kemampuan ekonomi bersedia memberikan kesempatan dan membuka kemungkinan kepada golongan pribumi untuk turut berusaha dapat menikmati hasilnya. Dengan langkah ini diharapkan tumbuhnya rasa solidaritas sosial yang dalam diantara sesama warganegara yang terdiri dari golongan pribumi dan golongan non-pribumi, di satu pihak dapat makin meratakan tingkat kemampuan ekonomi dari kedua golongan tersebut. Sedangkan di pihak lain hak hidup, hak berusaha dari golongan non-pribumi dijamin dan bahkan disambut baik oleh golongan pribumi. Melihat sikap pemerintah tersebut jelas bahwa soal rasialis tidak ingin dibesar-besarkan lagi. Dan WNI Tionghua hendak diperlakukan sama seperti warga pribumi.

Memang sebetulnya bila melihat sejarah kedatangan orang-orang Tionghua perantau di Indonesia sebenarnya sudah lama berlangsung. Bahkan sejak sebelum Belanda datang menjajah tanah air ini. Bahkan boleh dikatakan keberadaan orang-orang  Tionghua di Indonesia sudah ada sebelum negara RI berdiri. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka juga sudah menganggap Indonesia sebagai tumpah darahnya. Secara ektrem dapat juga berkembang pemikiran bahwa mereka dapat pula mengklaim dirinya sebagai yang ikut memikirkan berdirinya republik ini yang bersama-sama tokoh nasionalis lainnya ketika ikut melakukan perjuangan politik di Negeri Belanda melalui para pelajar dan mahasiswa keturunan Tionghua di negri kincir angin itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, mereka yang telah hidup lama di desa-desa terpencil, kota-kota kecil, berprofesi sebagai pedagang melahirkan suatu sikap dari para generasi muda keturunan Tionghua yang lebih lunak terhadap kebudayaan Indonesia. Mereka sudah terbiasa mengambil partisipasi aktif dalam kegiatan sosial, olahraga dan menyampaikan bantuan finansial kepada pemerintah daerah setempat dimana mereka tinggal.

Memang diakui sepanjang tahun 1972 – 1977 Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan ini diakui hanya eksklusif hanya menerima dan melayani berbagai kepentingan sosial di lingkungan keturunan Hok Kian. Tetapi perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan tidak mengarah kepada hal-hal yang mencampuri urusan-urusan seperti politik praktis/kepentingan tertentu. Mereka yang tergabung dalam perkumpulan ini cuma punya satu tujuan yakni bidang sosial seperti mengurus semua keperluan pelayanan kematian. Karena itu kepentingan sosialisasi dan membuka diri, akhirnya para pengurus melakukan perubahan yang mendasar. Itu dimulai di era kepengurusan Purnomo (Pho Sun Tiong). Maka sejak tahun 1978 rung lingkup pengurus dan keanggotaan lebih dierluas lagi atau terbuka untuk berbagai kalangan di luar suku Hok Kian.

Pengurus juga mencoba mencari pengganti nama untuk Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan sehingga bisa diterima lebih luas lagi oleh berbagai lapisan masyarakat. Artinya semua lapisan warga negara Indonesia baik dari etnis Tionghua maupun penduduk asli bisa menjadi pengurus/anggota. Hal ini diakui sebagai bagian dari penyesuaian diri akibat peralihan kepemimpinan orde lama ke orde baru. Mau tidak mau wajah  dan bentuk Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan harus diselaraskan dengan kebijakan-kebijakan serta peraturan perundangan yang berlaku. Sebagai tambahan, dimasa itu pergantian nama organisasi berbau Tionghua juga dilakukan oleh semua perkumpulan milik etnis Tionghua. Seperti Yayasan Ken Cin Sia diganti menjadi Meta Sarana, Yayasan Ho Hap dirubah menjadi Yayasan Tolong Menolong, yayasan Kong Saw Tong diganti menjadi Suaka Insan.

Karena tujuan dari organisasi Hok Kian Hwee Kwan ini semata-mata untuk kepentingan sosial, oleh para generasi penerusnya kemudian ditangani secara proporsional hingga akhirnya Hok Kian Hwee Kwan berganti nama menjadi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma pada tahun 1978. Waktu itu pengurus yang ikut membahas penggantian nama diantaranya  Kencana Sukma, Lukito Uslim dan Purnomo. Maka Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kuan mulai terjadi pembauran. Dan untuk keanggotaannya menjadi lebih luas dan terbuka dari berbagai lapisan masyarakat.

Misi dan visi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma juga mengalami perubahan mendasar tidak saja dijalur pelayanan sosial bidang pemakaman tetapi juga pemberian santunan/bantuan kepada masyarakat yang tertimpa musibah.

Maka, tepatnya Pada tanggal 12 September 1978 dengan akta No.8 oleh Notaris Halim Kurniawan (Khouw Hun Liang) dibuat akta Perkumpulan Sosial Budhi Dharma dengan susunan pengurus sebagai berikut:

Ketua :  Purnomo

Sekertaris : Kencana Sukma

Bendahara: Tanu Wijaya

Komisaris : Lukito Uslim

Asas dan tujuan : Adalah gotong-royong dan kekeluargaan (tolong menolong) membantu para anggota beserta keluarganya dalam hal tertimpa musibah dan perkumpulan ini bukan ormas/parpol. Semata-mata kegiatannya bertujuan sosial seperti kematian dengan kegiatan yang dicurahkan untuk bantuan perawatan jenazah dan pelaksanaan pemakaman hingga selesai. Disebutkan modal dan kekayaan berupa iuran tetap dan uang pangkal anggota, sumbangan dari dermawan dan simpatisan yang sifatnya tidak mengikat. Keanggotaan terdiri dari anggota biasa, luar biasa dan kehormatan serta donatur. Sebagai wujud keperdulian wadah ini bagi segenap lapisan masyarakat, pada tahun 1978 Perkumpulan Sosial/Yayasan Budhi Dharma menggalang bekerjasama dengan merangkul Badan Komunikasi Persatuan Kesatuan Bangsa (BAKOM-PKB). Gerakan ini dinilai cukup baik untuk mempersatukan keutuhan bangsa sampai tahun 1980. Kerjasama ini sekaligus membuat gerakan nasionalis oleh Bakom, antara lain dengan keluarnya keppres No.8 tentang kewarganegaraan.

Dasar pertimbangan itu maka Perkumpulan Sosial/Yayasan Budhi Dharma bersama Bakom-PKB memperjuangkan pengurusan status kewarganegaraan kalangan etnis Tionghua. untuk di Lampung sedikitnya telah ditangani sebanyak 3.000 jiwa. Selanjutnya aktivitas Perkumpulan Sosial/Yayasan ini mulai bergetar lagi. Dimana hampir setiap tahun melakukan kegiatan bakti sosial berupa penyerahan bantuan korban bencana alam, ke panti asuhan yatim piatu, panti-panti jompo.

Sejak pergantian nama Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan menjadi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma, ternyata di dalam pelaksanaannya masih menimbulkan masalah. Ganjalan yang paling utama adalah masih adanya penjelasan-penjelasan di dalam penyusunan akte Perkumpulan Sosial/Yayasan Budhi Dharma yang mengandung kesan tidak enak di kalangan masyarakat maupun pemerintah.

Pasalnya ada beberapa penjelasan pada akte pendirian Perkumpulan Sosial Budhi Dharma ini disebut-sebut adalah embrio dari Hok Kian Hwee Kwan. Masalahnya memang cukup merepotkan karena sejak era tahun 1975 wadah-wadah semacam ini sekalipun bersifat sosial/maupun tidak dianggap sebagai gerakan/perkumpulan menjurus kepada kepentingan politik praktis. Padahal dalam kenyataannya memang kepengurusan maupun orientasi Perkumpulan Sosial ini tidak melibatkan diri dengan kepentingan politik tertentu. Namun demikian, akhirnya disepakati melalui rapat pengurus untuk menggantikan nama Budhi Dharma dan merubah penjelasan-penjelasan dalam akte sekaligus perubahan susunan pengurus. maka pada tanggal 15 Februari 1989 dengan akta No.8 Oleh Notaris Julia Mensana, SH dibuat Akta Perkumpulan Sosial dengan nama Dharma Bhakti.

Ditegaskan dalam penyusunan akta tersebut bahwa Perkumpulan Sosial/Yayasan ini jelas-jelas menganut asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Maksud dan tujuan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Lampung khususnya. Melakukan berbagai kegiatan/usaha yang tidak bertentangan dengan hukum dan maksud tujuan dari pada pembentukan perkumpulan sosial. Modal dan kekayaan yayasan disebutkan bersumber dari iuran tetap dan uang pangkal anggota serta sumbangan simpatisan dan dermawan yang bersifat tidak mengikat. Selain itu ada gedung dan tanah kuburan.

Pembenahan misi/visi serta kepengurusan sosial ini masih terus dilakukan. Lagi-lagi penjelasan dalam akta pendirian perkumpulan ini mengalami perubahan.

Berdasarkan akta notaris tanggal 8 Mei 1995 No.3 dibuat dihadapan Notaris Jenmerdin, SH dan susunan pengurus dirubah kembali

Berbagai perubahan susunan pengurus juga masih berlanjut, terlebih waktu itu Bapak Purnomo sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia di tahun 1998. Kemudian melalui rapat pleno pengurus ditetapkan saudara Lukito Uslim menjabat sebagai Ketua. Sedangkan untuk posisi wakil ketua dipercayakan kepada Kencana Sukma yang sekaligus merangkap Sekertarus Umum. Susunan pengurus ini tidak sempat diaktekan hanya berdasarkan persetujuan rapat anggota/pengurus. Barulah beberapa waktu kemudian, di tahun yang sama berdasarkan akta notaris tanggal 11 september 1998 No.13 dibuat dihadapan Notaris Jenmerdin. SH susunan pengurus baru pun dibentuk. Sejak berubahnya nama Perkumpulan Sosial Budhi Dharma menjadi Dharma Bhakti, kegiatan-kegiatan di organisasi inipun semakin fleksibel dan sifatnya lebih terbuka. Sehingga misi dan visi daripada tujuan perkumpulan sosial sejak berdirinya/dibentuk tahun 1902 hingga 2002 tidak banya mengalami pergeseran, yakni masih berbasis pada bidang sosial.

Khususnya di dalam melayani keperluan anggota yang mengalami musibah, seperti kematian, pemberian santunan kepada masyarakat tertimpa musibah bencana alam, memberikan bantuan kepanti-panti asuhan dan rumah jompo. Setidaknya Hok kian Hwee Kwan telah menjadi salah satu bukti sejarah yang menunjukan perkumpulan warga Tionghua tersebut sudah bisa menampatkan keberadaannya di tengah masyarakat Indonesia umumnya di Propinsi Lampung.

*** 8138

PERANAN GENERASI MUDA

Pencapaian usia satu abad Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti sekarang ini tentu menjadi bahan renungan kembali. Terutama kalangan generasi penerusnya di dalam mengembangkan kiprah dan visi organisasi ini supaya lebih maju di kemudian hari. Setidaknya keberadaan organisasi sosial ini membuka banyak harapan-harapan baru bagi para generas penerus/generasi muda untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sebagai warga negara Indonesia bagi terciptanya rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang lebih kokoh lagi.

Selama ini disadari porsi orang-orang muda di dalam wadah ini masih sedikit. Sebetulnya mereka sudah siap terjun mengikuti langkah-langkah generasi terdahulu sepanjang diberi kesempatan. Apalagi mereka-mereka itu sudah banyak yang beraktifitas di organisasi kepemudaan lainnya.Untuk itu perlu diciptakan peluang yang lebih besar bagi kalangan generasi muda sehingga mendorong mereka menumbuhkan semangat. Dimana akan muncul berbagai masukan-masukan pemikiran baru. Kaulah, dahulunya didominasi oleh wajah-wajah yang telah sepuh tentunya sekarang harus segera dibenahi secara perlahan. Mengingat kinerja para orang tua tentunya lambat laun melemah seiring dengan usianya yang semakin lanjut.

Untuk itu, para generasi muda warga negara Indonesia sebagai pengurus tongkat estafet kepengurusan perkumpulan sosial ini perlu menyiapkan diri dari sekarang guna mengambil posisi  vital di dalam wadah ini. Tidak saja terbatas warga Tionghua keturunan Hok Kian yang diminta partisipasinya tetapi mereka dari suku dan golongan lainnya perlu diberikan kesempatan dalam berkiprah di perkumpulan sosial ini.Yang pada gilirannya memberi manfaat dan bisa dirasakan tidak hanya terbatas warga Tionghua, sekaligus seluruh warga negara Indonesia yang berdomisili di Propinsi Lampung.

Pembinaan Pendidikan, Kesehatan dan Perluasan Jaringan

Seperti diketahui eksistensi perkumpulan sosial masyarakat Suku Hok Kian ini telah terbuka, dimana rasa kebersamaan, persaudaran, sikap toleransi di kalangan masyarakat Lampung yang terdiri dari multi suku, budaya dan adat istiadat begitu kuat terjaga. Untuk dimasa mendatang Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti harus lebih baik lagi kegiatannya. Terutama ikut memikirkan nasib bangsa yang sedang dilanda krisis ekonomi dan krisis moral dewasa ini.

Sebagai perkumpulan sosial, Dharma Bhakti seyongyanya bukan lagi sebagai suatu lembaga yang cukup merasa puas dengan membagi-bagi sembako, memberikan sumbangan kepada korban bencana alam dan lain sebagainya.

Wadah ini sudah saatnya mampu menempatkan diri untuk memberikan dukungan dan keperdulian yang lebih tinggi lagi. Mengapa tidak, kiprah perkumpulan sosial ini lebih menonjolkan ke segala aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih gerak kehidupan saat ini dirasakan semakin kompleks. Melihat tuntutan di zaman sekarang, keberadaan organisasi semacam perkumpulan sosial diharapkan bisa memberikan/menghasilkan terobosan-terobosan yang positif.

Misalkan sebagai jembatan jaringan komunikasi dan informasi yang lebih luas lagi dengan organisasi sejenis di seluruh Indonesia bahkan mancanegara.

Seperti diketahui, perkumpulan sosial dikalangan keturunan Hok Kian juga sudah banyak tersebar di Tanah Air. Termasuk dibeberapa negara, sudah lebih dahulu mengembangkan ke dalam aspek hubungan perdagangan, tidak sebatas kegotong royongan dan hubungan kekeluargaan semata-mata.

Wadah ini tentunya juga bisa berkembang tidak lagi sebatas pada aspek pelayanan sosial saja. Harus ada upaya-upaya menuju keterbukaan dalam bidang seni, budaya maupun bisnis. Seperti di luar negri sekarang ini, wadah-wadah sejenis Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti sudah tumbuh dan berkembang, seperti apa yang disebut Hok Kian Asociation, Kanton Asociation, Hakka Asociation.

Kiprahnya tidak terbatas pada kegiatan sosial kemasyarakatan, mereka sudah mampu membentuk suatu jaringan bisnis (link Bisnis). Yang akan datang generasi penerus Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti di Lampung perlu menuju kesana secara terencana.

Tentunya semua ini harus mendapatkan dukungan dari pengurus lainnya. Sebab kalau tidak wadah ini akan terkukung terus di alam pemikiran yang ortodok.

Perkumpulan ini mau tidak mau tetap diperlukan dalam kerangka berfikir yang lebih maju dan tidak sebatas pada wawasan kedaerahan tetapi harus mengglobal. Begitu pula aspek kemandirian di dalam pengembangan perkumpulan sosial ini tetap dipikirkan, tanpa mengesampingkan adanya dukungan dari peran serta orang-orang yang mau perduli dari aspek finansial, pemikiran maupun tenaganya.

Dalam bagian lain, misi dan visi sosial perkumpulan sosial ini perlu harus diperluas lagi. Bisa saja mengembangkan pembinaan lewat penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun kesehatan. Karena melalui sarana pendidikan, bisa memberikan wawasan dan pendidikan kepada masyarakat. Terutama dalam mencetak kualitas anak bangsa yang berpegetahuan luas serta memiliki sikap loyalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap masyarakat bangsa dan negera.

Begitu pula di bidang kesehatan, perkumpulan sosial Dharma Bhakti sudah saatnya menciptakan suatu lembaga kesehatan yang memadai. Sehingga dari sini bisa diberikan bantuan/subsidi bagi pelayanan kesehatan warga yang tidak mampu (tidak komersil) Pembinaan kesehatan yang memadai tentunya akan menghantarkan kepada pembentukan kepribadian jiwa dan fisik yang sehat di kalangan masyarakat.

Di masa mendatang Perkumpulan Sosial memang sudah merencanakan  mendirikan suatu lembaga Perguruan Tinggi modern. Dimana pengembangan ilmu/mata pelajarannya lebih mendekatkan diri dengan aspek kemampuan (Skill). Isyarat itu sudah disampaikan beberapa pengurus seperti apa yang dikatakan Soetopo, ketua umum, Tanto Nugroho, wakil ketua dan Kencana Sukma, wakil Ketua Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti.

Dasat pertimbangan, karena perguruan tinggi yang selama ini ada memang sudah memadai, hanya saja model pendidikannya yang akan dikembangkan Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti nantinya ingin mengembangkan model pendidikan yang lebih spesifik lagi. Misalkan lebih menekankan pada penguasaan bahasa. Sehingga di setiap Fakultas yang dibentuk disisipi materi kuliah Bahasa Mandarin selain ada pembelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Sebagai ilustrasi, penguasaan Bahasa Mandarin sudah menjadi kebutuhan bagi pengembangan sektor bisnis dan perdagangan. Terlebih pengusaha Indonesia dewasa ini banyak yang bermitra dengan pengusaha asal Taiwan, Hongkong, Singapore dan RRC.

Selama ini penguasaan bahasa Mandarin masih kurang dipahami oleh para pelaku bisnis di tanah air. Contohnya di Lampung, untuk urusan dagang/bisnis hasil Bumi di Lampung masih didominasi pelaku dunia usaha beberapa gelintir saja.

Bagaimana pengusaha-pengusaha lainnya bisa bernegosiasi kalau penguasaan bahasa (Mandarin) saja mereka tidak menguasainya, termasuk bahasa Inggris dan sebagainya. Belum lagi, adanya penawaran kesempatan bekerja di luar negri dewasa ini cukup terbuka lebar. Seperti permintaan tenaga kerja untuk negara-negara Industri seperti Malaysia, Hongkong, Singapore, Taiwan maupun di RRC.

Kesempatan ini sering kurang disikapi oleh para tenaga kerja Indonesia untuk mempersiapkan diri pada pembekalan soal pemahaman berkomunikasi. Sehingga belakangan tidak sedikit diantara mereka banyak yang terkelabui lantaran kurangnya menguasai bahasa.

Sasaran pembinaan di dalam perguruan tinggi yang akan dikembangkan Perkumpulan Sosial tujuannya supaya semua warga negara (mahasiswa) dari berbagai ras, suku, dan golongan yang menimba ilmu pada perguruan tinggi tersebut bisa mempelajari dan akhirnya memahami bahasa Mandarin, sebagaimana layaknya mahasiswa/pelajar kita yang menguasai Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Arab dan sebagainya.

Yang jelas keberadaan peruguruan tinggi yang akan dikembangkan perkumpulan sosial ini harus bisa menyeimbangkan antara pencapaian aspek sosial dan segi-segi komersial. Kalau perlu perguruan tinggi ini jutru mengedepankan dukungan pembiayaan pendidikan lewat pemberian bea siswa kepada mahasiswa-mahasiswi berprestasi yang tidak mampu.

Begitu juga rencana pengembangan/pemberian  bantuan di sektor kesehatan. Kalau memang benar perkumpulan sosial ini merencanakan mendirikan Rumah Sakit seyogyanya juga bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat yang tidak mampu. Kangan Komersial.

Pengembangan rumah sakit di Lampung memang dirasakan masih kurang memadai. Terutama dalam hal penanganan pelayanan kesehatan seperti pengobatan-pengobatan tertentu penyakit jantung maupun kelengkapan sarana dan prasarana laboratorium yang belum tersedia.

Mengapa tidak, kalaupun memang akan dibangun sebuah rumah sakit oleh perkumpulan sosial ini sekaligus menciptakan suatu pelayanan rumah sakit modern. Sehingga masyarakat Lampung sendiri tidak perlu repot-repot untuk ke Jakarta  atau keluar negri kalau ingin berobat atau chek-up.

Dalam pengembangan pelayanan rumah sakit nanti juga akan diikuti oleh penyelenggaraan akademi perawatan (Akper) untuk bidang spesialisasi kesehatan seperti: jantung, mata, paru-paru. Pertimbangannya karena penyelenggaraan akper-akper yang ada selama ini sepertinya hanya dididik untuk bidang kesehatan secara umum, tidak diarahkan pada penguasaan ilmu kesehatan/ spesialisasi perawatan tertentu.

Tinggal bagaimana sekarang tugas para generasi penerus yang ada sekarang ini mampu mengimplementasikan cita-cita yang telah disusun sehingga memperkokoh pondasi-pondasi yang sudah dibangun pra generasi tua Hok Kian terdahulu.

*** 8150

Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghoa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *