Masjid Muhammad Cheng Ho – Rumah Indah Persaudaraan

Standard

SEKILAS bangunan itu persis kelenteng, rumah ibadah umat Tri Dharma. Gedung didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Apalagi pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda. Ditambah relief naga dan patung singa dari lilin.

Tapi, bila dilihat lebih dekat, akan terbaca lafaz ”Allah” dalam huruf Arab di puncak pagoda. Lambang ini menunjukkan, bangunan itu bukan kelenteng, melainkan masjid. Apalagi di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk, pelengkap bangunan masjid.

Foto Ilustrasi : Masjid Chengho – Surabaya , Liputan 6

Masjid Muhammad Cheng HoMasjid Cheng Ho (GATRA/Arif Sujatmiko)
Rumah Indah Persaudaraan

Masjid Cheng Ho (GATRA/Arif Sujatmiko)SEKILAS bangunan itu persis kelenteng, rumah ibadah umat Tri Dharma. Gedung didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Apalagi pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda. Dit

ambah relief naga dan patung singa dari lilin.

Tapi, bila dilihat lebih dekat, akan terbaca lafaz ”Allah” dalam huruf Arab di puncak pagoda. Lambang ini menunjukkan, bangunan itu bukan kelenteng, melainkan masjid. Apalagi di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk, pelengkap bangunan masjid.

Perpaduan gaya Tionghoa dan Arab memang menjadi ciri khas masjid bernama Muhammad Cheng Ho Indonesia itu. Nama itu diabadaikan sebagai penghormatan pada Cheng Ho, Laksamana asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam.

Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.

Dalam pandangan H.S. Willy Pangestu, Sekretaris Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) Koordinator Wilayah Jawa Timur, bagian utama Masjid Cheng Ho memang sangat kental dengan nuansa Tiongkok. Bentuk, raut, warna, ornamen bahkan dimensinya bercirikan arsitektur Tiongkok.

Atap utama masjid ini bersusun tiga lapis menyerupai bentuk pagoda. Pada puncaknya terdapat lafaz “Allah”. Sedangkan mahkota pada ujung atap lebih condong pada gaya arsitektur Hindu-Jawa. Tatanan atap Masjid Cheng Ho berbentuk segi delapan (pat kwa). Maknanya, “keberuntungan” atau “kejayaan” menurut numorologi Tiongkok kuno.

Hitungan atau angka pada bangunan masjid semuanya punya makna. Misalnya, bangunan utama seluas 11 x 9 meter. Angka 11 sebagai ukuran Ka’bah pada awal pembangunannya dan angka 9 merupakan simbol Wali Songo yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Masjid Cheng Ho memiliki kolom sederhana dan dinding dilapisi keramik bermotif batu bata. Di beberapa bagian dihadirkan ornamen horizontal berwarna hijau tua dan biru muda. Pewarnaan itu diulang juga pada bentukan kuda-kuda yang dibiarkan telanjang pada bagian interior.

Ada juga bukaan lengkung pada dinding, ciri khas arsitektur India dan Arab. Pada bagian dalam masjid, terdapat podium. Di Tiongkok, podium ini dimaksudkan guna menghindari kelembapan. Podium Masjid Cheng Ho dibagi dua, tinggi dan rendah. Podium yang lebih tinggi terletak pada bangunan utama. Sedangkan yang rendah berada di sayap kanan dan kiri bagian utama masjid.

Masjid Cheng Ho mulai dibangun pada 10 Maret 2002 dan rampung serta diresmikan pada 13 Okrtober 2002, menghabiskan Rp 700 juta. Ukurannya sekitar 200 meter persegi dan hanya mampu menampung 200 jamaah. Masjid ini dikelola PITI Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia.

Lokasi masjid memang di bagian belakang gedung serba guna PITI Jawa Timur di Jalan Gading Nomor 2, Surabaya. Berbagai kegiatan keagamaan dilaksanakan di masjid ini, seperti pengajian, tablig akbar, atau majelis taklim. Kegiatan perayaan hari-hari keagamaan Islam seperti Idul Fitri atau Idul Qurban pun dipusatkan di masjid ini.

Kadang halaman digunakan untuk acara resepsi pernikahan dengan latar belakang bangunan masjid. Hampir setiap pekan di masjid ini, biasanya setelah salat Jumat, dua-tiga warga keturunan Tionghoa mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai tanda masuk agama Islam. “Masjid ini adalah rumah Allah, jadi siapa saja boleh menggunakannya,” kata Willy.

Pernyataan Willy merupakan sikap yang memang ditanamkan Cheng Ho dalam misi syiar Islamnya, seperti dikemukakan Prof. Dr. A.M. Juliati Suroyo. Guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, ini mengatakan, dalam setiap muhibahnya, Cheng Ho selalu menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan antar-umat beragama.

Kedatangan Cheng Ho ke Jawa bersamaan dengan awal proses Islamisasi. Kala itu, banyak pedagang Cina bermukim di wilayah pantai utara Jawa. Sebagian dari mereka beragama Islam. “Kedatangan Cheng Ho sekaligus memberi dukungan bagi imigran Tionghoa agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat,” kata Juliati Suroyo.

Dalam dakwah, Cheng Ho tidak melakukannya dengan berdiri di depan banyak orang. Dakwahnya dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat yang dikunjunginya. “Dakwah yang dijalankan Cheng Ho, kalau memakai istilah sekarang, adalah model bil hal, dakwah dengan contoh perilaku,” kata Prof. Dr. Abdul Jamil, Rektor IAIN Wali Songo, Semarang, seperti dikutip harian Republika. “Yang dikembangkan Cheng Ho merupakan inti untuk memperkuat kerukunan seperti juga yang agama Islam tekankan,” kata Abdul Jamil.

Pendapat Abdul Jamil klop dengan Prof. Dr. A. Dahana. Guru besar studi Cina Universitas Indonesia ini menjadi seorang pembicara dalam seminar memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho di Semarang, Juni lalu. Dahana mengatakan, dalam menyebarkan Islam, Cheng Ho sangat menanamkan rasa persaudaraan. Pada setiap daerah yang dikunjungi Cheng Ho, dibangun tempat peribatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan Tionghoa. “Semangat itulah yang seharusnya tetap dipelihara,” kata Dahana dalam seminar tersebut.

I Made Suarjana, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)
[Arsitektur, Gatra Edisi Khusus, Beredar Kamis, 27 Oktober 2005]

CATATAN ADMIN : TULISAN INI MERUPAKAN ARSIP MAILING-LIST BUDAYA-TIONGHUA, KAMI HANYA MENGARSIPKAN UNTUK KEPENTINGAN KOMUNITAS .HAK CIPTA PENULISAN DIMILIKI OLEH MEDIA / PENULIS YBS .

Referensi

  1. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/15306
  2. http://www.gatra.com/index.php

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *