Ayang Utriza NWAY
Kemarin (29/1), masyarakat China merayakan Tahun Baru Imlek 2557. Dua hari setelah itu, umat Islam merayakan Tahun Baru Hijriah 1 Muharam 1427 (31/1).
Foto Ilustrasi : Jejak Islam Dinasti Tang – Wikipedia
Ada makna penting di balik perayaan kedua tahun baru itu, yaitu hubungan erat Islam-China sebagai sebuah peradaban dan kebudayaan dalam konteks dunia dan Indonesia.
JALUR KE CHINA
Ketika Islam lahir sebagai sebuah agama pada paruh pertama abad VII Masehi, China sudah lebih dulu menguasai berbagai aspek penting dunia, mulai perdagangan hingga kekuasaan politik yang membentang. Islam mulai berhubungan dengan China saat Islam berangsur menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan.
Harus dikatakan, hubungan Islam-China terjalin cepat karena sebelumnya telah ada hubungan dengan pedagang Arab. Saat Islam berkembang, kemungkinan, para pedagang Arab yang telah masuk Islam melanjutkan aktivitas ekonomi dengan China. Inilah yang membuka celah bagi perkembangan Islam di China dan membuat hubungan keduanya berlanjut (Broomhall, 1905).
Hubungan Islam-China kian erat berkat dua kekuasaan politik besar: Khilafah Umayyah (661-750) dan Khilafah Abbasiyyah (750-1258) di Barat mewakili Islam dan Dinasti T’ang (618-907) dan Dinasti Tsung (960-1280) di Timur mewakili China. Pada massa Umayyah, perdagangan ke China dilakukan melalui darat. Perang antara kaum Muslimin, China dengan suku Tibet membuat jalur darat terputus. Hal ini menjadikan jalur laut menjadi alternatif untuk mencapai China. Sejak masa Abbasiyyah, perdagangan jalur laut meningkat pesat (Tibbets, 1957).
Para pedagang Muslim yang menggunakan jalur laut menuju China, mau tidak mau, harus melewati Nusantara: dari laut Nusantara di Aceh, selat Melaka yang membelah Pulau Sumatra dan semenanjung Melayu hingga menuju China. Berkat jalur laut inilah Islam tersebar di Nusantara yang kala itu masih menganut animisme, Hindu, dan Buddha. Perjalanan para pedagang Muslim menuju China membuat Islam sebagai agama masuk secara perlahan di Nusantara.
CHINA ISLAM NUSANTARA
Hubungan China dengan Nusantara sudah ada sebelum Islam masuk. Sumber-sumber China menyebutkan, tahun 1275 kaisar China tidak lagi menerima upeti dari San-Fo-Tsi (Sriwijaya), tetapi dari Sa-Wen-Ta-La (Samudera) (Ambary, 1990). Hal ini dipertegas kesaksian Marco Polo yang pada tahun 1292 berkunjung ke Samudera Pasai. Ia mengatakan, raja Samudera Pasai tunduk pada kekuasaan China, namun tidak dapat bayar upeti karena jauhnya jarak untuk sampai ke China (edisi Prancis: 1865&1989).
Kedekatan hubungan China-Nusantara berlanjut saat orang-orang Arab yang ada di China dan orang-orang China yang masuk Islam datang menyebarkan Islam di Nusantara. Karena itu, salah satu teori yang berkembang hingga kini, China memainkan peran penting dalam proses Islamisasi Nusantara.
Peran ”Jalur China” amat besar dalam proses masuknya Islam ke Trengganu pada abad XIV, dan ke Jawa pada abad XV. Islam di kedua daerah ini dianggap datang dari China melalui Champa (kini Kamboja). China menunjukkan peran yang kian penting saat kaisar Ming mengirim Laksamana Cheng-Ho dan penerjemahnya, Ma Huan—keduanya beragama Islam—dalam ekspedisi ke Nusantara beberapa kali sepanjang abad XIV untuk menjalin hubungan politik dan ekonomi.
Profesor Rahmat Mulyana (1968) memaparkan jasa Laksamana Cheng-Ho dalam Islamisasi di tanah Jawa. Bahkan, beberapa masjid didirikan atas perintah Cheng-Ho. Karena itu, tak heran jika ada akulturasi arsitek Islam-China sebuah masjid, misalnya masjid di Semarang bekas peninggalan Cheng-Ho. Tetapi, yang membuat geger tahun 1970-an di Indonesia ialah tulisan Mulyana yang menyatakan Wali Songo adalah keturunan China.
Hal ini perlu dikaji lagi. Tetapi paling tidak, dalam sejarah tercatat, istri Sunan Ampel adalah putri Champa yang masih saudara istri Brawijaya V, ibu dari Raden Fattah. Salah satu istri Sunan Gunung Djati adalah putri China yang hingga kini kuburannya di Cirebon menjadi tempat ziarah masyarakat China. Daniel Perret (2005) menjelaskan, menara dan masjid Agung Banten merupakan hasil seorang arsitek China. Ini menunjukkan peran penting China dalam proses Islamisasi Nusantara.
SEJARAH PEREKAT
Kedekatan Islam-China dari dulu hingga kini harus membuat umat Islam dan masyarakat China di Indonesia menghilangkan rasa curiga dan sikap rasis yang kadang muncul dan membuat hubungan keduanya tegang.
Dengan tahun baru Imlek 2557 dan Hijriah 1427, kita buka lembaran baru dan menghilangkan pandangan dikotomis pribumi-China, serta membuang perasaan dan sikap anti-China dan anti-Pribumi (Islam). Dengan kesadaran sejarah ini semoga dapat lebih mempererat jalinan dan untaian kebangsaan kita. Gong Xi Fa Cai dan Marhaban Ya Sanah Jadîdah!
Ayang Utriza NWAY Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina; Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kedekatan Islam-China dari dulu hingga kini harus membuat umat Islam dan masyarakat China di Indonesia menghilangkan rasa curiga dan sikap rasis yang kadang muncul dan membuat hubungan keduanya tegang.
Dengan tahun baru Imlek 2557 dan Hijriah 1427, kita buka lembaran baru dan menghilangkan pandangan dikotomis pribumi-China, serta membuang perasaan dan sikap anti-China dan anti-Pribumi (Islam). Dengan kesadaran sejarah ini semoga dapat lebih mempererat jalinan dan untaian kebangsaan kita. Gong Xi Fa Cai dan Marhaban Ya Sanah Jadîdah!
Ayang Utriza NWAY Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina; Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
CATATAN ADMIN : TULISAN INI MERUPAKAN ARSIP MAILING-LIST BUDAYA-TIONGHUA, KAMI HANYA MENGARSIPKAN UNTUK KEPENTINGAN KOMUNITAS .HAK CIPTA PENULISAN DIMILIKI OLEH MEDIA / PENULIS YBS .